Minggu, 30 November 2014

Kado Musim Panas

Focus
Focus
Itulah kata yang sejak tadi tergiang dalam benak ku. Bagai dengungan para lebah yang tak henti henti nya. Ku mencoba untuk focus dan berusaha menerka apa yang telah terjadi, walau fikir ku belum menggapai. Semua itu… yah semua kejadian itu  belum bisa aku lupakan. Bunga, coklat, lemparan batu, sang tukang teror. Semua nya seperti kejadian itu membelenggu dalam otak ku.
“Nagisa?” sapa Kotomi padaku.a
“ehm.. ya?”
“kau ini kenapa? Apakah, ini semua karena kejadian itu?”
“ya, begitulah Kotomi.. aku masih heran.. siapa yang menaruh buka dan coklat di bangku ku beberapa hari terakhir ini..”
“memang, kau tak tahu pengirimnya Nagisa?” aku menggeleng pelan.
“Nagisa… Kotomi…” dari kejauhan, Fuko melambaikan tangannya. Aku dan Kotomi tersenyum tipis melihat kedatangan Fuko.
“hey! Kalian ini kenapa?” Tanya Fuko setelah menduduki mejanya.
“tentang bunga, coklat dan barang-barang lainnya..” paparku dengan jelas.
“aduh.. Nagisa.. tak usah di khawatirkan.. mungkin, dia sedang iseng padamu?!”
“Fuko… ini itu, bukan iseng lagi.. tapi teror…” umpat Kotomi pada Fuko.
“sudahlah… walaupun aku penasaran.. aku juga tak terlalu memperdulikannya..”
@@@
Sepanjang pelajaran hari ini, fikiranku tak pernah focus. Aku selalu terbang dalam dunia imajinasiku. Imajinasi tentang semua barang yang ku dapatkan dalam waktu dekat itu. Imajinasi yang mampu membuatku sukar untuk belajar, makan dan melakukan aktivitasku seperti biasanya.
Untung saja, sebentar lagi liburan musim panas akan dating. Jadi, aku akan bisa sedikit melupakan kejadian terror itu. Walau aku tahu, itu akan sedikit sulit bagiku.
@@@
ujian semester pun usai. Itu tandanya, liburan musim panas telah  datang. Inilah waktu yang ku tunggu. Waktu dimana, aku bisa sedikit melupakan semua masalah terror itu.
“Nagisa…”
“ada apa Katomi?”
“ada sesuatu hal yang ingin ku beritahukan padamu..” balas Kotomi dengan nafas terengah. Sepertinya, ia baru saja berlari jarak jauh dengan kecepatan yang tinggi.
“kaua atur dulu nafasmu.. habis lari dari mana? Sampai terengah-engah seperti itu..?” tanyaku dan menyodorkan air minum pada Kotomi.
“tadi, aku tak sengaja melewati kelas 2-B” nafasnya, masih sedikit terengah.
“lalu?”
“disana, sedang ada kerumunan anak laki-laki.. di tengah keremunan itu, ada yang bernama Tomoya, kalau tidak salah..”
“trus.. apa hubungannya?” potongku.
“dengarkan dulu.. kau selalu memotong pembicaraanku..” umpat Kotomi.
“cowok itu menyebutkan namamu..” lanjut Kotomi.
“salah dengar mungkin…”
“nggak, aku disana bersama Fuko..”
“sekarang, dimana anak tanpa dosa itu?” tanyaku.
“di kantin mencari minum..”
“memang, laki-laki itu, bicara apa?”
Kotomi mulai membuka mulutnya. Menceritakan semua tanpa ada yang tertinggal sedikit pun. Keterangan sekaligus informasi itu membuatku tercengang parah. Mulutku ternganga lebar.
Aku tahu, siapa si Tomoya itu. Dia anak laki-laki dari kelas 2-B. anak yang popular di sekolahku ini. Aku pertama kali bertemu dengannya, saat pendaftaran siswa baru. Ia menanyakan ruang pendaftaran, dan aku yang menunjukkannya.
“Nagisa?!” ucap Fuko. Ia melambaikan tangannya di depan wajahku.
“Nagisa?” kali ini lebih keras.
“ya?” jawabku sedikit tercengang.
“kamu kenapa?” Tanya Fuko yang heran melihatku.
“dia tidak percaya dengan pendengaran kita sewaktu melewati kelas 2-B tadi..” erang Kotomi.
“itu benar Nagisa, aku saksinya..” Fuko mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya membuat huruf “V” yang menunjukkan bahwa dia benar-benar serius.
@@@
MUSIM PANAS.
“hufh… tak ada yang bisa ku lakukan…. Liburan ini terlalu panjang dan membosankan!!!” gerutuku dalam hati.
“Nagisa… ada temanmu…” teriak ibu.
“siapa Bu?”
“kau kemari saja, dia ingin mengajakmu keluar…”
Aku berjalan menuju teras rumah. Sengaja, aku tak berganti pakaian. yang aku gunakan hanya kaos putih dengan celana pendek.
Dari tempatku berjalan, di teras sudah tampak ibu dan seorag anak laki-laki. “hah?! Siapa dia?” rutukku dalam hati. Aku membuka pintu perlahan. Silauan sinar matahari sore, menghujat mataku. Refleks, ku picingkan mataku untuk mengurangi silau caaya yang masuk dalam mataku.
“Nagisa…” sapa Tomoya padaku.
“Tomoya?”
“uhm,, ibu masih ada pekerjaan, ibu masuk dulu ya..” Tomoya hanya mengangguk.
“ada apa?” ta nyaku setelah ibu berlalu.
“aku ingin mengajakmu jalan-jalan, menikmati sore di musim panas..” Tomoya bangkit berdiri. Ia menatapku sejenak. Lalu, menggandeng tanganku dan meninggalkan teras.
@@@           
“Nagisa… ehm,, apa kau menerima terror sebelum liburan musim panas datang?” Tanya Tomoya padaku.
“hem.. ya..”
“sebenarnya,, yang melakukan terror itu…” Tomoya tampak diam sejenak.
“aku…” lanjutnya dengan wajah yang tertunduk. Aku menganga seketika. Tak menyangka yang terjadi saat ini. Dan kenyataan bahwa Tomoya-lah yang membuat terror itu.
“aku sengaja, memberikanmu terror-teror manis itu.. karena aku tidak bisa mengatakannya secara langsung..”
“mengatakan apa?” tanyaku.
“mengatakan bahwa… aku mencintaimu..” Tomoya semakin tertunduk. Rona merah di wajahnya tersapu jelas oleh mataku dan juga sinar matahari sore.
Ku genggam tangannya. Ia menoleh ke arahku. Aku tak mengucapkan kata-kata. Hanya sebuah senyuman terkembang di wajahku. Sebenarnya, aku juga mencintai Tomoya.
Mungkin, ini jawaban dari semua pertanyaanku. Jawaban dari semua teka-teki tersembunyi itu. Jawaban dari rasa penasaranku, beserta rasa penasaran Fuko dan juga Kotomi.
Ya… semua terror manis itu, berasal dari seseorang yang mencintaiku. Terror manis itu, adalah kado musim panas yang diberikan Tomoya padaku. Dan, aku bahagia, menerima semua kado yang telah diberikan Tomoya dalam bentuk terror itu.

Ia memang tidak mengemas itu dengan baik. Namun, ada atau tidaknya teroran itu, dan juga barang-barang manis itu, aku tetap mencintainya. Mencintai Tomoya dengan apa adanya.

Minggu, 23 November 2014

Akulah Kekasih Kedua



Matahari menyeruak ke dalam kamar tidurku. Mataku terbuka pelan. Tepat di kursi panjang, lelaki itu terbuai dalam mimpinya.
Ku dekati dirinya. Aku duduk bersimpuh, membelai kening yang tertutup oleh poni rambutnya. Lelaki yang memberikan warna dalam hidupku. Lelaki yang telah menerimaku.
Sebuah dentingan lagu mengalun dari Hp miliknya. Sekejap mata, lelaki itu telah meranggah Hp-nya. Menerima telfon, yang sepertinya, aku tau itu siapa.
“dari Dina kah?” Tanyaku usai ia berbicara di telfon.
“iya..”
“kenapa dia?”
“biasalah, tanya.. aku ada dimana…” jawab Angga.
“Ga, indah ya pagi ini…”
“iya Ris..”
Aku duduk menhadap arah matahari terbit bersama Angga. Setiap hari Senin, Rabu, Sabtu dan Minggu, inilah rutinitasku. Ku habiskan hariku bersama Angga. Kekasih tercintaku.
Angga adalah lelaki yang mampu membuatku tersenyum di setiap harinya. Lelaki yag menyayangiku, walau tak sepenuh hatinya. Lelaki yang penuh dengan keromantisan.
Ya.. Angga memang menyayangiku.. tapi, itu tak sepenuh hatinya. Karena Angga mempunyai dua rasa, yang ia gunakan dalam satu jiwa. Namun, aku bisa menerimanya.
Angga berjalan pelan menghampiriku. Ia merangkulku. Mendekapku dalam peluknya.
“Rish, kamu tau gak kenapa hari ini begitu cerah..?” Tanya Angga padaku.
“nggak.. emang kenapa?” aku menggeleng pelan.
“karena, kamu ada disampingku.. karena kamu, bidadari kedua ku..”
“gombal kau Ga..” kataku sambil tertawa.
“loh, iya.. ini beneran Rish.. walaupun aku berbagi saying, namun, tetap saja.. aku menyayangimu..”
“aduh.. Angga.. basi tau..” Angga tertawa pelan. Ia mengusap ujung kepalaku. Di dekapnya tubuhku semakin erat. Lalu, di kecupnya ujung kepalaku.
Kebiasaan lainku bersama Angga adalah, merapikan rambut di depan kaca. Rambutku, hanya mencapai panjang sebahu dengan poni mendatar. Sedangkah Angga, rambutnya yang hitam pekat, sengaja di buat sedikit acak-acakan.
“sini deh, aku rapiin rambut mu Rish..” katanya padaku.
“emang bisa?”
“sini deh..” ku dekatkan diriku padanya. Angga mengusap pelan rambutku. Awalnya, ia memang merapikan rambutku. Namun akhirnya, ia acak-acak lagi rambut yang tadinya sudah tertata rapi.
“Angga..” aku kontan membalas berbuatan Angga. Ia hanya tertawa. Memelukku dengan eratan.
“Rish,, maaf, aku nggak bisa sama kamu malam ini, aku lagi sama Dina..” tukasnya dalam telfon tadi sore.
Ya, sudah ku bilang bukan.. aku hanya bidadari Angga yang kedua. Dan pastinya, ada bidadari pertama, bidadari itu bernama Dina. Aku tau, mungkin, aku bodoh.. karena mau di jadikan kekasih kedua untuk Angga.
Namun, apa daya.. aku sangat menyayanginya. Dan aku memahaminya. Angga tak pernah membeda-bedakan aku dengan Dina. Angga mencintai aku dan Dina dengan cara yang berbeda. Menyikapi sifatku yang tombi dan menyikapi sikap Dina yang lebih feminine.
Disini hanya aku dan Angga yang tau. Dina, sengaja tak kami beritau. Karena, sudah terbayang, bagaimana reaksi Dina.
Angga selalu membagi rata waktunya. Aku tetap tegar, walaupun aku tau, perbuatanku ini salah. Ya, aku menjlani cerita yang tak semestinya untukku. Aku tau, ini tak akan berjalan untuk selamanya. Dan, aku juga tau, pasti aka nada air mata dalam cerita ini
Pagi ini, Angga kembali bersamaku. Breakfast yang cukup sederhana, dengan setangkup roti tawar. Dan juga, canda tawa dari Angga. Membuat semuanya menjadi berkesan.
Aku tau, dia pasti juga melakukan ini pada Dina. Terkadang, sempat mengisakkan tangis dan luka dalam hatiku. Jika aku mengingat, bahwa masih ada Dina yang juga disayang oleh Angga.
Ku kemasi piring, dan semua peralatan makan yang tadi ku gunakan ke dalam dapur. Aku duduk di dekat wastafel tempat menyuci piring. Angga berdiri di sebelahku. Ia memainkan lelucon seperti biasanya. Dengan membenahi rambutnya yang menutupi mata.
Aku mengejeknya dengan mimic muka yang sangat menjengkelkan. Bukanya marah, ia malah tertawa terpingkal-pingkal. Angga tertawa lepas. Ia mendekatiku. Mendekapku. Dan mencium pipi sebelah kiriku. Aku hanya bisa tertawa dalam pelukannya.
Angga menggendongku menuju halaman belakang. Disana, kami sering bermain basket. Ini juga di lakukan Angga dengan Dina. Aku juga tak heran, karena aku mengetahui semuanya.
Akulah pelengkap Dina. Saat Angga jengkel pada sifat Dina, aku selalu bisa meluluhkan hatinya. Aku selalu bisa membuatnya tertawa lepas lagi. Begitupun juga dengan Dina. Ia menjadi pelengkapku juga.
Aku tak perduli, bagaimana Angga meposisikanku. Sebagai kekasih pertama kah atau kedua kah.. tak menjadi masalah bagiku. Yang terpenting, ia bisa membuatku nyaman dan merasa bahagia.
Aku tidak apa jika Dina memarahi ku dan mengatai aku dengan kata-kata yang pedas. Toh, mereka juga belum tentu berjodoh. Dan aku yakin, ini semua akan indah pada waktunya… @@@
kutetap tegar melawan salah
jalani cerita yang bukan untukku
kau kan s’lalu kupuja dan kan slalu kupuja
ku tetap bahagia walau sebagai kekasih kedua”

Inspiration By: Cassandra-Kekasih Kedua..

Kamis, 13 November 2014

Ku Tunggu Kau Dibawah Hujan

Ku Tunggu Kau Dibawah Hujan

Kelas, tampak ramai pagi ini. Mataku tertuju pada sebuah bangku disudut belakang kelas. Tampak seorang cowok yang sedang duduk disana. Aku mempercepat langkahku ke dalam kelas. Akupun terhenti tepat disamping mejanya.
“hai Wan..” sapaku pada cowok yang sedang duduk itu. Namanya Iwan, dari kelas sepuluh hingga kelas dua belas, aku selalu satu kelas dengannya.
“mau apa kau?” ketusnya padaku. Aku mengernyitkan dahi dengan tersenyum.
“kita sekelas lagi ya Wan..” aku berlalu meninggalkannya menuju bangku nomor tiga dari depan.
Aku tidak tahu, mengapa Iwan tak suka padaku, tapi yang jelas, aku menyukainya mulai dari kelas satu. Aku selalu berusaha untuk mendekatinya. Aku ingin, merubah semua sifat jelek yang ada pada dirinya.
Iwan sering sekali hilang dari bangkunya saat pelajaran tengah berlangsung. Ia juga perokok, tapi, dia tidak pernah minum alcohol ataupun terjerat narkoba. Iwan juga sering bolos sekolah. sebenarnya, aku perihatin dengan Iwan, aku ingin merubahnya agar mau berubah.
Usahaku selama dua tahun terakhir, sia-sia saja. Iwan tetap tidak bisa dekat denganku. Di tahun ketiga ini, aku tak mau usahaku gagal lagi. Apapun caranya, aku akan berjuang lebih keras untuk merubah lelaki yang aku sayangi.
@@@
Bel istirahat telah berbunyi. Iwan sudah tak ada di kelas semenjak jam terakhir tadi. Aku tahu, ia dimana. Ku kemas semua buku yang masih ada di atas meja.
Ku mantapkan langkahku menyusuri koridor sekolah. Dan, benar saja, Iwan berada di sana. Tepat di halaman belakang sekolah. dari kejauhan, aku bisa melihat, terselip sebatang rokok pada kedua jarinya.
Kakiku, mulai melangkah panjang-panjang. Setelah berdiri tepat di depannya, ku tangkis sebatang rokok, yang sedang ingin ia hisap kembali.
“kamu ini kenapa sih?” Tanya Iwan dengan nada jengkel.
“aku tak mau kamu merusak dirimu terus menerus..”
“apa pedulimu?”
“karena saya sayang sama Iwan.. dan saya tidak mau Iwan merusak diri Iwan sendiri..”
“aku sudah rusak dari dulu.. mengapa kau baru menyadarinya?”
“saya sudah menyadari itu, sejak Iwan mulai sekelas dengan saya.. dan saya ingin merubah Iwan.” Paparku pelan.
“mari ke kelas..” kataku dengan terbesit sebuah senyum.
Ku ulurkan tanganku. Dengan malas, ia menggapai tanganku yang berada tepat di depannya. Usahaku, mulai mendapatkan hasil. Walau hanya sedikit, ini memberikan harapan luar biasa padaku.
@@@
Sudah dua bulan lebih aku dekat dengan Iwan. Aku tak menyangka, Iwan dapat berubah dengan cepat. Sekarang, Iwan sudah tak merokok lagi. Ia juga tidak lagi bolos sekolah. Sekarang, Iwan menjadi cowok yang baik. Aku senang, bisa mrubahnya. Tapi sayang, aku tidak bisa melihatnya untuk satu bulan ke depan.
Aku harus menjalani operasi radang otakku. Aku berharap, setelah operasi itu, aku masih bisa membuka mataku. Agar aku bisa melihat Iwan lagi.
“Iwan, Langi boleh minta sesuatu?” tanyaku saat Iwan mengantarku pulang tadi.
“apa? Kau mau minta apa?”
“Langi pernah membaca buku, isinya, ada sepasang kekasih, mereka selalu bersama. Sampai akhirnya, mereka memutuskan untuk tidak bertemu selama 1 bulan..” aku menarik nafas panjang.
“dan Langi ingin seperti itu, selama satu bulan ke depan, kita nggak boleh bertemu ataupun telfon.. kita akan bertemu lagi saat hujan pertama turun.. bagaiman? Iwan bisa memenuhinya?” jelasku.
“satu bulan kedepan?” aku mengangguk.
“oke, Iwan akan memenuhinya. Dan, tepat saat hujan pertama turun bulan depan, Iwan akan menunggu Langi di bangku biasanya. Tempat langi memandangi langit..” aku mengulas sebuah senyuman di wajahku.
Aku memasuki pagar rumahku. Mulai hari ini, aku dan Iwan, resmi berpisah selama satu bulan. Semoga, bulan depan aku masih bisa melihat Iwan lagi.
@@@
Hari ini, aku berangkat untuk menjalani operasi radang otakku. Dibantu, kakak dan Ibu, aku mengemasi semua barang-barangku. Aku sudah menyiapkan surat untuk Iwan, jika pasca operasi nanti aku tak bisa membuka mataku lagi. Sebenarnya, aku tak ingin membuat surat ini, namun, aku juga tak mau jika meninggalkan Iwan tanpa melontarkan permohonan maaf kepadanya.
Perjalanan menuju rumah sakit, membuatku semakin gusar. Ketenangan hatiku mulai runtuh. Terkikis rasa takut yang mulai besar di dalam hatiku.
Mobil Ayah, sudah berada di tempat parker rumah sakit. Aku berjalan dengan resah memasuki ruangan. Disana, aku diberi sebuah pakaian khusus untuk orang operasi.
Seusai, memakainya, ku lalui koridor rumah sakit. Tepat di depanku, sebuah pintu besar berwarna putih telah menantiku. Diatas pintu itu, bisa tertulis jelas sebuah kalimat “RUANG OPERASI”.
Desahan nafasku terus berderu kencang. Debaran hati mulai bergejolak. Rasa takut, tak mau kehilangan terpancar jelas di raut muka keluargaku. Sebelum masuk ruangan, aku coba menenagkan semuanya.
@@@
Aku duduk termenung menatap langit. Hari ini, mendung sedang bergelayut diatas sana. Ku gerakkan jariku membentuk  sebuah nama. Nama yang selalu terkenang dalam hatiku, pikiranku dan yang membuat rasa cinta dalam hatiku.
Perlahan, rintikan air mulai turun dari bawah awan mendung. Aku tetap duduk di bangku itu. Ku sambar payung bening disebelahku. Aku sudah mempersiapkan semuanya. Maka dari itu, aku tak akan beranjak dari tempat ini, sebelum orang yang aku sayangi dating disini.
Rintik-rintik air mulai berubah menjadi gerimis. Ku mainkan tanganku untuk menggenggam butiran-butiran bening itu. Setelah eman bulan diterjang musim kemarau yang panjang. Tepat hari ini, hujan pertama turun, dengan sebuah ritme yang menenangkan dan menyejukkan hati.
@@@
“Langi…” sebuah tepukan pelan dan suara itu mampu membuatku menoleh. Ku tatap wajah yang saat ini, tengah berhadapan denganku. Wajah yang selalu menemaniku dalam gelapnya ruang operasi. Wajah yang selalu memberikaan semangat, wajah yang senantiasa memberikan senyuman padaku.
Aku bangkit dari dudukku. Tanpa ku sadari, payung yang senantiasa melindungiku dari tadi, kini telah tergeletak di tanah. Deraian bening, mengalir dari mataku. Menahan tangis bahagia saat melihat wajah itu.
“Langi..” ulangnya sekali lagi. Aku tetap saja tak menjawab. Hanya goresan senyum yang mengembang di balik hujan. Refleks, aku berlari pelan menghampirinya. Ke dekap ia dengan kasih sayang.
“Iwan, maafkan Langi.. tapi selamat, Iwan telah bisa menunggu Langi selama satu bulan. Dan tepat dengan janji Iwan, kita bertemu di hujan pertama di bulan ini..”
“aku sudah mendengar semuanya.. terima kasih, karena Langi telah berjuang untuk kesembuhan Langi sendiri..”
Dekapan penuh kasih sayang semakin erat diantara kami berdua. Gerimis hari ini, menjadi saksi pertemuan kami. Hangatnya kasih sayang, tak membuat kami menggigil karena guyuran hujan.

Terima kasih Tuhan, kau telah mendengar semua doaku. Dan, terima kasih, karena kau telah mempertemukanku dengan seseorang yang aku sayangi, dan yang benar-benar menyayangiku.